ARSITEKTUR BERBASIS KEPULAUAN. RUMAH ADAT LOBO
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat rahmat ALLAH SWT. Karean atas izin-Nya kami selaku penyusun liputan ini dapat menyelesaikannya. Dalam kesempatan kali ini, pembahasan mengenai rumah adat Sulawesi Tengah yang lebih dikenal dengan nama ‘LOBO’.
Selaku penyusun liputan ini, kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya, oleh karena itu kami sangat mengharapkan partisipasi rekan-rekan mahasiswa berupa saran yang dapat menjadikan tulisan ini lebih sempurna lagi dan dapat menjadi referensi kita bersama dalam menggali kebudayaan Indonesia.
Demikian, semoga liputan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.1. PENDAHULUAN
INDONESIA, Negara yang memiliki beribu pulau, khasanah daerah yang tak terhitung, dari segi sosial sampai sisi arsitekturnya, tak terkecuali Sulawesi-tengah juga memiliki kekayaan arsitektur yang tidak kalah menarik namun kurang dalam publikasi. Propinsi yang kaya budaya, kaya ritual. Tidak terkecuali kekayaan dan keragaman arsitektur rumah adatnya, Arsitekturnya memiliki keragaman bentuk, fungsi dan guna. Sebut saja Souraja (Rumah Raja), Bantaya, Tambi, Baruga, Lobo/Duhungga, Gampiri (lumbung), dan masih banyak lagi. Di tinjau secara keseluruhan, masing-masing rumah adat memiliki karakter fungsi yang berbeda, langgam, pola, dimensi ruang, bahkan typikal bentuk yang berbeda satu sama lainnya. Liputan kali ini terfokus pada rumah adat Lobo, rumah adat yang hingga saat ini masyarakat sulawesi tengah masih mengenalnya sebagai “bangunan sakral”. Bangunan adat ini terletak di daerah desa Toro, Kecamatan Kulawi berjarak 90km arah selatan kota palu. Menyimpan berbagai cerita yang perlu digali oleh kita semua.
2. SEJARAH PEMUKIMAN TORO. RUMAH ADAT LOBO
Bangunan ini berdiri sebelum bermukimnya masyarakat toro di desa toro itu sendiri, mulanya, masyarakat yang mendiami desa Toro bermukim di daerah desa Malino yang kemudian mengalami sebuah peristiwa sangat tragis yang bermula dari sebuah perminan gasing. Pada saat itu anak-anak desa malino sangat gemar bermain gasing, hingga suatu hari ada seorang anak mahluk halus ikut bermain di dalamnya dengan menggunakan gasing emas, akhirnya mereka saling adu gasing dan gasing emas itu selalu saja menang. Hal itu pun terjadi secara berturut-turut hingga suatu saat anak suku malino itu menceritakan kepada orang tua mereka, orang tua mereka pun heran mendengarnya, lalu mereka berkumpul untuk berencana melihat apa yang sebenarnya terjadi. Suatau hari mereka mengintip anak-anak mereka bermain gasing bersama mahluk halus tersebut. Mereka terkesima dengan gasing yang di keluarkannya gasing emas, tanpa pikir panjang mereka merampas gasing tersebut dan membunuh anak itu. Setelah itu kejadian yang sangat tragis itu terjadi, dimana pertumpahan darah pada malam hari tak terelakkan. Masyarakat pun berlarian menyelamatkan diri mereka hingga terpencar menjadi 2 arah. Tahun-tahun berganti, mereka pun bertemu kembali di sebuah desa di toro, yang dimana nama desa tersebut berarti dari kata “SISA”. Sisa masyarakat yang di bantai oleh mahluk halus. Mereka pun membuat sebuah pemukiman dan rumah adat. LOBO berasal dari kata ralobo-loboo yang artinya di pisah-pisahkan, sesuai dengan salah satu fungsi rumah adat tersebut. Lobo yang bersiri sampai saat ini merupakan bangunan yang didirikan pada tahun 1991 yang menggantikan rumah adat Lobo yang telah rapuh.
3. FUNGSI RUMAH ADAT LOBO
Rumah adat lobo merupakan bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan kultur dan kehidupan masyarakatnya, bangunan ini di masa pemerintahan raja-raja dulu merupakan central dari urusan yang berkaitan dengan Adat, sekaligus menjadi central dari kesatuan pemerintahan dan kebudayaan. Rumah adat Lobo berfungsi menampung segala aktivitas yang menyangkut kepentingan masyarakat. lebih khususnya bagi para pemegang tampuk pemerintahan “Maradika” (bangsawan), para Totua Ngata (orang yang dituakan), anggota dewan adat dan tokoh masyarakat. Musyawarah, perumusan, pengambilan keputusan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum dilakukan di dalam bangunan ini. Lobo juga memiliki fungsi sebagai kantor pengadilan dan pemutusan perkara, dimana apabila seseorang melanggar hukum adat yang berlaku, maka dia akan diadili dan mendapatkan “rahaha”(siksaan) yang dilaksanakan di dalam lobo. Seperti halnya juga fungsi lainnya, dalam melepas pasukan ke medan perang dan menerimanya kembali, prosesi itu dilakukan dilobo dengan diiringi upacara adat. Kaitannya dengan upacara, lobo juga berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya pesta-pesta adat sehubungan dengan ucapan syukur antara lain selamatan akan hasil panen yang baik, keselamatan kampung, keselamatan dari penyakit menular, bala serta kutukan dewa. upacara ini biasanya ditandai dengan prosesi pemotongan hewan kerbau yang dilakukan di dalam lobo.
4. PEMBAGIAN SPACE. STRUKTUR PADA BANGUNAN LOBO
Pembagian ruang didalam lobo diatur sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya yang serba guna, secara zoning vertikal di bagi dalam tiga stage, bagian bawah pada posisi tengah bangunan diperuntukan bagi masyarakat umum atau pendengar duduk, dan tempat untuk mengatur makan dan minum, tempat ini disebut “dalika/ padence”, diatas dalika pada sebelah pinggir yang berhubungan langsung dengan dinding (menyerupai balai-balai) di sebut “kanavari” yang diperuntukan bagi para bangsawan dan totua ngata. Sejajar dengan kanavari pada sisi lebar bangunan didalam lobo terdapat dapur mini (avu/ puavhua) . Bahan konstruksi lantai dan dinding umumnya dari bahan papan. dinding disusun dengan tidak menutup penuh, ini antara lain dimaksudkan untuk sirkulasi udara yangg masuk kedalam dapat leluasa, dan maksud lainnya khusus bagi totua ngata dan bangsawan yang duduk di kanavari, yang memiliki kebiasaan mengunyah pinang dan sirih, dapat memanfaatkan rongga itu untuk dapat membuang ludahnya keluar tanpa harus keluar lobo, dinding ini dinamakan dinding “hungkeke”. Ditengah dalika terdapat tiang raja yang menerus ke atap, di tiang ini juga terdapat lingkar ikatan tali dari rotan, yang disebut “takole”, tali rotan ini dugunakan pada saat upacara adat untuk mengikat leher kerbau yang akan disembelih di dalam lobo. Berkaitan dengan itu, tangga di buat tanpa rongga-rongga mempermudah sekaligus mampu menahan beban kerbau yang dinaikan ke dalam lobo.terbuat dari bahan kayu utuh yang dicoak 5-7 trap (sesuai dengan tinggkatan lapisan masyarakat).
Konstruksi Lobo merupakan susunan kayu-kayu bundar (bolanoa) yang bertumpu pada paravatu (Umpak), masing-masing memiliki diameter yang berbeda, kayu bolanoa yang paling besar berdiameter ± 30-40 cm yang paling kecil berdiameter 10-15cm, bolanoa ini ditumpuk melintang dan saling menindih satu sama lainnya. Susunan bantalan-bantalan kayu ini memiliki tugas dan nama masing-masing. Susunannya merupakan suatu pola keseimbangan secara keseluruhan. Dan pada setiap pertemuan susunannya terdapat coakan sambungan dan diperkuat ikatan tali rotan. Pada lobo jaman dulu susunan bolanoa dibantu oleh tiang-tiang yang menerus ke tanah pada sisi luar lobo yang juga sekaligus sebagai bagian dari dinding. Keseluruhan konstruksi dalam memperkuat kayu-kayu beserta susunannya menggunakan tali dari bahan rotan, juga dari bahan lokal tradisional, adapun menyiasati kayu kayu dengan panjang terbatas dengan sistim sambungan kait mengait, lidah-lidah dan serba coakan. Uniknya simpul tali rotan yang diikatkan ke setiap sambungan konstruksi lobo di haruskan dililit melawan arah jarum jam, atau putar kiri Konon ini adalah lambang kekuatan.
Bahan kayu pada seluruh bagian lobo terkecuali atap, di ambil dari jenis kayu yang dalam bahasa kulawinya disebut kayu Kole, kayu lokal ini dikenal dengan ketahanannya. Untuk bahan penutup atap dari kayu alipaa, dan kaha, dua jenis kayu ini merupakan spesialis untuk penutup atap lobo, dikenal dengan ketahanannya terhadap air hujan. pada ujung atap bubungan menggunakan bahan “kangkuba” (ijuk). Penutup atap dibuat sirap dari papan berukuran kecil, tipis-tipis pengerjaannya hanya dengan “Teba” (menyayat) kayu dari glondongan kayu.
Bahan kayu pada seluruh bagian lobo terkecuali atap, di ambil dari jenis kayu yang dalam bahasa kulawinya disebut kayu Kole, kayu lokal ini dikenal dengan ketahanannya. Untuk bahan penutup atap dari kayu alipaa, dan kaha, dua jenis kayu ini merupakan spesialis untuk penutup atap lobo, dikenal dengan ketahanannya terhadap air hujan. pada ujung atap bubungan menggunakan bahan “kangkuba” (ijuk). Penutup atap dibuat sirap dari papan berukuran kecil, tipis-tipis pengerjaannya hanya dengan “Teba” (menyayat) kayu dari glondongan kayu.
Lobo sebagai warisan budaya tentunya tidak dapat bertahan sampai dunia ini tutup usia, waktu mempengaruhi keberadaan dan keaslian lobo dari segi fisik dan tampilannya, namun tidak berlaku pada segi fungsinya. lobo mengalami perubahan seiring dengan proses waktu, untuk itu perlu segudang kearifan agar dapat mempertahankan dan melestarikan warisan budaya ini.
(oleh: Himpunan Mahasiswa Arsitektur Tadulako | kakarmand.blogspot.com)
*jika mengambil liputan ini maupun tulisan lain dalam blog ini sebagai referensi, harap mencantumkan sumbernya. thanks before!
2 komentar
Write komentarterus lestarikan budaya indonesia brooo
Reply@JURAMI COY
Replyyup! mari bersama melestarikan budaya Indonesia
EmoticonEmoticon