Kaili itu Ramah, Tapi Jangan Diusik

Oleh : Nurdiansyah Lakawa

Tjatjo Tuan Saijhu
Tjatjo Tuan Saijhu
Tjatjo Tuan Saijhu, barangkali sudah banyak yang mengenal sosok lelaki sederhana ini. Ia adalah penulis, sastrawan dan juga budayawan.  Salah satu tulisannya adalah “Soyo Lei”, atau semut merah. 



Semut merah adalah penggambarannya pada masyarakat Kaili yang senang bergotong royong dan bekerjasama, tapi jangan diusik.
Begitulah pria yang bernama TS Atjat ini menggambarkan Suku Kaili, suku asli daerah ini. Rasa kepemilikan dan kepeduliannya kepada Kaili sangat kental.
Kepada, Nurdiansyah Lakawa, Jum’at (7/1/2011), di kediamannya, ia menjelaskan karakterisitik masyarakat Kaili. Berikut petikannya:


Banyak generasi kita belum paham apa yang dimaksud dengan Kaili. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Kaili itu?
Kaili merupakan nama kayu besar dan paling kuat. Sekarang kayu masih ada, kayu kaili ini masih ada di Batusuya. Di sana ada kayu satu besar di dekat pantai. Kayu kaili sebenarnya lambang kebesaran masyarakat di sini saat Palu ini belum tercipta. Dia menjadi lambang kebesaran orang-orang terdahulu.
Di wilayah Bangga, atau di pelabuhan Bangga dulu dia (kayu kaili) berdiri. Dia juga disebut dengan tirotasi atau pohon yang menghadap ke laut. Tiro itu menghadap dan tasi itu laut. Jadi dia menghadap ke laut. Dan itu menjadi mercusuar orang luar yang masuk ke Sulawesi Tengah saat itu. Jika pelayar  dari luar melihat kayu tinggi itu, orang sudah tahu, oh itu sudah pohon Kaili, dan mereka berlabuh di pelabuhan.

Bagaimana karakter orang Kaili sesungguhnya?
Orang kaili itu sangat ramah, tidak memilih siapa yang menjadi kawan. Tapi jangan diusik. Kalau mau baik-baik, maka orang kaili akan baik-baik. Tapi kalau mengusik, orang Kaili akan marah.
Makanya orang luar datang ke sini merasa betah. Karena orang kaili mudah menerima. Buktinya dulu dia ramah dengan orang-orang Dayak, Banten, Tidore, Sumatera Barat, dengan orang selatan tak usah di bilang.
Bayangkan saja, dulu itu banyak jawara-jawara Kaili yang pergi mengajarkan  ilmu beladirinya di Banten. Sama dengan Kaltim. Sampai hari ini pusaka-pusaka orang Dayak bisa kita temukan di beberapa tempat.  Saya dengar salah satunya pusaka mereka ada di Kolakola. Pusaka mereka berupa tameng. Dan coba lihat, ada kesamaan antara parangnya orang Dayak dengan guma (parang khusus) Kaili. Tapi tetap beda dalam pembuatan, guma membuatnya dengan supranatural dan natural. Islam masuk di Sulteng juga karena orang di sini mudah menerima siapa saja.

Bapak mengatakan orang Selatan tak perlu dibilang, sebenarnya seperti apa hubungan Selatan dan orang Kaili?
Hubungan Bugis dan Kaili adalah hubungan yang sangat erat. Pada abad ke-9 antara adat Bugis dan Kaili sudah terjalin. Bugis yaitu Kerajaan Luwu dan Kaili adalah Kerajaan Sigi. Keduanya saling bersahabat. Pernah terjadi saling tukar pusaka di antara keduanya, yaitu mereka saling memberi pusaka parang yang gagangnya terbuat dari tulang paha wanita 14 tahun. Kerajaan Luwu memberikan parang yang gagangnya terbuat dari tulang wanita 14 tahun dan Kerajaan Sigi pun memberikan guma yang gagangnya terbuat dari tulang wanita 14 tahun. Bayangkan saja, persaudaraan itu harus mengorbankan manusia. Sampai-sampai di kerajaan Luwu ada ruangan khusus yang diperuntukan bagi tamu dari Kaili. Saya tidak tahu apa ruangan itu masih ada, tapi dulu saya tahu sekali itu ada.

Apa ada silang budaya (akulturasi)  yang tampak pada keduanya?
Akulturasi antara alat pertanian dan peristiwa ekonomi.

Bagaimana karakter Kerasnya orang kaili itu?
Jika berbuat kesalahan dengan orang Kaili, orang Kaili mudah memaafkan. Namun jika sampai pada puncaknya dia akan meledak, orang Kaili pasti akan marah. Ane boli, boli! Ane ala, ala!, artinya kalau kamu simpan, simpan saja, tapi kalau kamu ambil, ambil saja! Jadi kalau mau perang, ya kita perang, tapi kalau mau damai, damai!. Jadi kita tidak memulai.

Jika ada kekerasan yang melibatkan masyarakat Kaili dalam perpolitikan?
Kalau ada seperti itu, itu bukan lagi budaya Kaili namun itu adalah kepentingan politik. Makanya itu harus diubah dengan memahami lebih dalam tentang budaya kita sesungguhnya.

Bagaimana sikap kita dengan pemimpin?
Kita sangat menghargai pemimpin. Dulu dikisahkan, ada orang kaili yang mencuri sapi kemudian dikejar oleh masyarakat. Dia lari ke depan Istana raja.  Karena si pencuri lari ke depan rumah raja pertanda minta perlindungan. Ketika raja melihat itu, raja langsung membuang songkoknya di depan masyarakat dan akhirnya masyarakat berhenti mengejar. Itu tandanya raja meminta untuk tenang. Mereka sangat taat dengan raja, padahal hanya dengan memberikan isyarat seperti itu.
Ketika pecah konflik di Inpres, Paliudju (Gubernur Sulteng, HB Paliudju) datang ke atas gunung (ke salah satu komunitas Kaili yang berkonflik) meminta untuk berdamai. Dan mereka mendengarkan apa yang dikatakan oleh Paliudju. Itu tandanya orang Kaili sangat taat kepada pemimpin.

Nah itu orang Kaili, tentunya dia taat dengan orang Kaili, bagaimana dengan pemimpin yang bukan orang Kaili?
Orang Kaili terima siapa saja, hanya saja apakah dia (pemimpin) melihat kita sebelah mata. Dan saya kira siapapun dan dimanapun pemimpin tentunya tidak akan disukai jikalau memandang sebelah mata.
Di daerah ini juga pernah dipimpin bukan orang kaili. Kita pernah dipimpin orang Batak. Dan orang Kaili tidak mempersoalkan siapa memimpin mereka. Yang penting  bagi orang Kaili bagaimana caranya orang-orang  itu memimpin.

Apa hal yang paling peka menurut masyarakat Kaili, agar jangan pernah diusik?
Ya kehotmatan sebagai marga. Itu yang paling tidak disukai oleh orang Kaili.  Namun sayang, dengan masuk budaya-budaya luar banyak kebudayaan Kaili yang terlupakan. Itu harus dikembalikan!  Termasuk bahasa, adat istiadat yang sudah hilang. Tapi tidak semua adat istiadat mesti dikembalikan. Saya menulis buku tentang adat istiadat. Mungkin 2011 akan terbit.

Apakah dengan sikap keras itu kita (orang Kaili) mudah marah?
Itulah yang saya sesalkan. Sebenarnya ada perubahan karakter pada masyarakat Kaili. Sesungguhnya kita lebih ramah daripada mudah marah. Ini karena kita terlalu lama terkungkung dalam penjajahan. Padahal penjajahan di Sulteng ini hanya 40 tahun. Sebelum tahun 1904-an kita  berani menantang orang Belanda, namun dikarenakan politik adu domba orang Belanda dengan persenjataan kuat, Raja disini tunduk. 1904 beberapa raja tunduk dan menyepakati Kontrak Varklering dengan Belanda. Dari sekitar Abad ke-16 kita sudah dijajah tapi kita melawan. Nanti pas kontrak itu baru kita tunduk.
Istilah saya, ada dua sistim di negara ini yang merubah watak kita, yaitu sistim kelicikan Belanda dan sistim kesadisan Jepang. Jadi tauran dan konflik konflik sebenarnya diakibatkan oleh berpuluh-puluh tahun kita dijajah, sehingga watak kasar itu masuk pada orang Kaili, padahal itu bukan watak Asli orang Kaili. Karena terlalu lama dijajah watak kita sangat keras, kita tidak kembali pada budaya asli, yang sebenarnya kita sangat ramah. 

Beberapa aksen dan logat bahasa Kaili terdengar kasar, apa itu juga merupakan gambaran watak kita?
Itu tidak benar.  Aksen bahasa yang keras bukan watak orang Kaili. Sebab itu terlahir dari kondisi geografis yaitu dekat gunung ataupun dekat  pantai. Jadi bicaranya harus keras karena kondisi. Jadi sebenarnya tak ada hubungannya dengan watak orang Kaili. Kita sangat ramah

Untuk keramahan,  apa ada simbol-simbol filosofis pada budaya Kaili?
Itu kentara pada simbol-simbol rumah orang Kaili. Lihat saja rumah orang Kaili dulu, di atasnya di bagian tepi atap ada kayu yang diukir sedemikian indah. Itu menunjukkan orang Palu sangat mencintai keindahan, mereka menghormati rasa seni. Keharmonisan. Sedangkan ukiran tanduk yang paling di atas  itu merupakan simbol kebesaran. Namun simbol-simbol itu sekarang hampir punah.
Oh iya, ada yang menarik dari istananya orang Kaili, di depannya ada dua tangga untuk naik ke teras.  Jadi itu tangga adalah tangga bagi perempuan dan tangga bagi laki-laki. Posisinya sama, sejajar naik di atas istana. Itu tandanya bahwa Kaili ini sangat peduli jender. Jadi jauh sebelum ilmu emansipasi jender orang kaili sudah mengutamakan emansipasi.
Pahlawan orang kaili itu banyak juga yang perempuan, misalnya Tondei, Ranginggamagai. Itulah sebabnya dulu  disini juga yang memimpin perempuan, seperti, Ratu Nilinoa di Sigi, Ratu Marukaluli di kerajaan Likuwakena kemudian Ratu Sabina di kerajaan Banava.

Apa pesan bapak, kepada kita orang Kaili?
Pesan saya, kembalilah pada budaya asli milik kita sendiri! Perhatikan kebudayaan kita! Jaga eksistensi diri kita sebagai masyarakat kaili! Karena sesungguhnya kita tidak mau tercabik-cabik oleh budaya luar. Hormati kearifan lokal! Hargai pemimpin! Sebaliknya pemimpin juga mesti menghargai rakyatnya, apalagi orang-orang Kaili! ***

@Rumah Baca Tinta Pelangi

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

5 komentar

Write komentar
Nur
Saturday 14 May 2011 at 02:36:00 GMT+8 delete

info penting untuk di-share, terus tulis ttg budaya & wisdom masy palu/sulteng. slm kenal

Reply
avatar
Saturday 14 May 2011 at 22:08:00 GMT+8 delete

@dunia kocok:
ya! saya juga suka dengan tulisan 'Kaili itu Ramah, Tapi Jangan Diusik' karya jurnalis Nurdiansyah Lakawa ini..

@Kang Nur:
Salam kenal juga.
Terima kasih atas apresiasi dan saran Kang Nur.

Reply
avatar
Anonymous
Thursday 3 October 2013 at 15:00:00 GMT+8 delete

Saya suka ini walau sy bukan orang kaili -- cuma penikmat senjata tradisional. Kita satu rumpun sajalah pak sama-sama rumpun melayu.

semoga niatan bapak berasil. Hidup tanpa tradisi itu seperti orang yang berjalan linglung :)

Reply
avatar
Thursday 4 December 2014 at 08:43:00 GMT+8 delete

Bagi saya Sejarah tanah kaili gak ada yg bisa di percaya, kenapa saya bilang begitu..?
Kita membaca sejarah dari fersi si A, tulisanya hanya membesar-besarkan kelompok/fam/marga mereka, begitu juga sebaliknya Fersi si B juga hanya membesarkan kelompok/fam/marganya..

Intinya sejarah tanah kaili tak ada lagi sumber yg terpercaya semuanya bermuatan politik dan kebohongan..

Wasalam..

Putra kaleke

Reply
avatar